Karawang – Masri (50), warga Sungai Buntu, Karawang, akhirnya bisa kembali berkumpul dengan keluarganya setelah 13 tahun hilang kontak. Kisah mengharukan ini bermula dari kepergian Masri sebagai pekerja migran ke Bahrain pada tahun 2011. Setelah kepergiannya, tak ada kabar yang diterima keluarga, hingga akhirnya kabar keberadaan Masri tiba-tiba muncul.
Masriyah (62), kakak Masri, menerima panggilan video dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Manama, Bahrain, beberapa hari lalu. KBRI menghubungi Pemerintah Kabupaten Karawang melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk mengkonfirmasi dan memvalidasi data Masri.
"Alhamdulillah, hari Rabu kemarin kira-kira habis Maghrib, saya didatangi orang Kecamatan, katanya ada yang mau telepon dari adik saya yang dulu pernah berangkat ke Bahrain," ucap Masriyah saat singgah di Kantor Bupati Karawang, Jumat (9/8/2024).
Masriyah menerima panggilan video dari KBRI Manama untuk memvalidasi kebenaran data soal Masri. "Iya ditelepon saja kan video gitu, dipastikan katanya ini saudaranya apa bukan, yang saya lihat di video itu Masri adik saya dan dia kenal saya. Nah di situlah memang saya dikabari kalau adik saya akan pulang hari Kamis," kata dia.
Kabar bahagia ini membuat Masriyah dan keluarga di rumah menangis haru. Selama 13 tahun, mereka tak tahu keberadaan Masri, bahkan meragukan apakah Masri masih hidup. "Iya tentu saat ini saya senang, bersyukur sekali yah, terimakasih sama Pak Bupati, ibu Dedeh KBRI juga. Selama 13 tahun ini saya justru nggak tahu adik saya dimana sebenarnya, dia masih hidup atau nggak, cuman kita punya keyakinan kalau suatu hari akan pulang, dan ternyata ini lah waktunya," ungkapnya.
Masri berangkat ke Bahrain pada 18 September 2011 dengan bekal uang Rp 1 juta dan membawa satu unit handphone untuk berkomunikasi. Ia tiba di Bahrain pada 19 September 2011. "Saya masih terima kabar pas dia sudah tiba di Bahrain, dia sudah tiba katanya, beberapa hari kemudian hilang aja nggak ada kabar. Kalau dulu kan masih HP jadul biasa kita nggak bisa minta foto atau apa gitu, bisanya cuma telepon," ucap Masriyah.
Pada Rabu (7/8/2024), Masriyah menerima panggilan video dari KBRI Bahrain yang memberikan kabar bahwa adiknya masih sehat dan akan dipulangkan.
Masri meninggalkan anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun pada tahun 2011. Hilangnya kabar Masri membuat sang suami menggugat cerai dan membawa satu-satunya anak mereka. Kini, Masri pulang disambut kakaknya, anaknya, sekaligus cucu dari anak laki-laki yang dulu ia tinggalkan. Saat bertemu anaknya, Masri merasa sedikit bingung karena tak mengenalinya.
Dedeh Amalia, petugas KBRI Manama, menjelaskan bahwa terungkapnya kasus Masri terjadi pada akhir Juli 2024. Saat itu, majikan Masri membawa Masri ke KBRI untuk keperluan perpanjangan paspor.
"Iya jadi Ibu Masri ini datang ke KBRI dengan majikannya warga negara Bahrain yang bernama Idrees Matar Mohamed, untuk keperluan perpanjangan paspor," kata Dedeh saat diwawancara Jabarpos.id di Kantor Bupati Karawang.
Paspor yang dimiliki Masri merupakan paspor yang dibawanya sejak tahun 2011. Artinya, paspor itu sudah lama tidak berlaku, begitu pula KTP yang dimiliki Masri masih menggunakan KTP lama. Sejak tiba tahun 2011, Masri sengaja tidak diberikan alat komunikasi untuk menghubungi keluarganya. Bahkan, Masri tidak diizinkan keluar rumah oleh majikannya selama bekerja sebagai asisten rumah tangga.
"Setelah kami menerima permohonan pembuatan paspor, ternyata yang bersangkutan (Masri) sudah 13 tahun bekerja, selain tidak diberikan alat komunikasi, gajinya selama bekerja 13 tahun juga belum dibayarkan oleh majikannya," ungkap Dedeh.
Pihak KBRI meminta majikan Masri untuk membayarkan haknya, yakni upah selama bekerja 13 tahun. Majikannya terpaksa harus melepas Masri karena KBRI memilih untuk mengamankan Masri dan memulangkannya.
"Total gajinya selama bekerja 13 tahun belum dibayar, perbulannya sekitar BHD 80, atau sekitar Rp3,6 juta, jadi total selama 13 tahun ini sekitar BHD 12.275 atau sekitar Rp518 juta, dan kami mengupayakan majikannya untuk membayarkan haknya," katanya.
KBRI meminta majikan Masri untuk menyelesaikan tunggakan gajinya sebelum penerbitan paspor atau SPLP baru. Majikannya itu kemudian tetap membayar meski hanya sanggup membayar BHD 4.000 atau sekitar Rp172 juta secara tunai di awal, sementara sisanya sebesar BHD 8.275 atas kesepakatan bersama akan dicicil setiap bulan kepada Masri.
"Setelah tunggakan gaji Ibu Masri ditindaklanjuti, baru kami menerbitkan paspor baru, untuk keperluan kepulangan Bu Masri, dan Alhamdulillah disambut oleh tim Disdukcapil, dan Pak Bupati secara langsung membantu pemulangan Bu Masri," pungkasnya.