Merauke | Jabar Pos – “Kehadiran mereka [tentara] saja sudah merupakan teror bagi masyarakat. Dengan ke mana-mana selalu dengan senjata lengkap, pakaian hijau,” tutur Romo Pius Cornelius Manu, tokoh agama dan pemilik tanah adat di Merauke Sabtu (19/10).
Komandan Kodim Merauke Letkol Inf Johny Afriady menepis apa yang dikatakan masyarakat adat itu.
la meyakinkan bahwa keberadaan prajuritnya di sana hanya sebatas “untuk membantu membuka lahan pertanian”.
Pada Juli 2024 telah didatangkan alat-alat berat ke Merauke, Papua Selatan, untuk kepentingan PSN cetak sawah serta pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol.
Kemudian dilkuti penambahan pasukan TNI di kawasan tersebut-di luar satgas pengamanan yang sebelumnya sudah ada.
Akademisi dan pegiat HAM mengingatkan, pengerahan prajurit militer dengan dalih ketahanan pangan tersebut hanya akan memunculkan kekerasan baru dan “secara jelas melanggar tugas dan fungsi pokok TNI dalam Pasal 7 UU TNI tahun 2004”
Pemerintah Indonesia menambahkan kawasan pengembangan pangan dan energi di Kabupaten Merauke ini dalam daftar PSN pada 10 November 2023.
PSN Merauke terbagi menjadi tiga. Pertama, proyek pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol seluas 500.000 hektar.
Kedua, proyek optimalisasi lahan atau Oplah yang semula 40.000 hektar menjadi 100.000 hektare.
Ketiga, proyek cetak sawah baru yang dikelola Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian dengan lahan seluas satu juta hektare.
Salah satu proyek yang dilakukan pada pengujung era Presiden Joko Widodo dan dilanjutkan Presiden Prabowo Subianto ini telah dikritik berbagai kalangan.
Pasalnya, proyek pengembangan pangan dan energi tersebut dianggap serupa dengan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dikerjakan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010.
Belajar dari pengalaman MIFEE di Merauke dan Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa resolusi proyek food estate dengan penggunaan lahan dan alih fungsi hutan skala luas berbasis korporasi, modal besar, teknologi, mekanisasi dan manajemen organisasi modern justru menimbulkan rangkaian permasalahan.
Mulai dari perampasan lahan, akuisisi lahan dan konsentrasi penguasaan lahan pada segelintir pemilik modal, terjadi eksploitasi buruh, deforestasi, kekeringan dan bencana ekologi yang berulang dan meluas.
Belum lagi soal gizi buruk dan kesulitan pangan, indikasi korupsi, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan korban penduduk asli.
Gelombang pertama sebanyak 500 unit alat berat telah tiba sejak Juli 2024. Bulan berikutnya, datang lagi 264 unit dari total 2.000 alat berat yang dipesan untuk pengerjaan proyek cetak sawah 1 juta hektar.
Pada 2 Oktober 2024, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto telah meresmikan pembentukan lima Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di Papua.
Ini dilakukan untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah. Dua batalyon kemudian ditempatkan di Papua Selatan.
Bagi masyarakat adat, bukannya merasa terlindungi perkara penambahan prajurit militer itu, menurut Romo Pius Cornelius Manu justru memunculkan rasa tidak aman.
“Kehadiran mereka saja sudah merupakan teror bagi masyarakat. Dengan ke mana-mana selalu dengan senjata lengkap, pakaian hijau,” tutur Romo Pius, tokoh agama dan pemilik tanah adat di Merauke Sabtu (19/10).
“orang yang tadinya begitu bebas, mereka tidak bisa banyak bersuara”. tambahnya
“Ibu-ibu yang waktu itu demonstrasi, lalu unjuk rasa, menunjukkan sikap dengan menulis di kertas karton atau menyatakan bahwa kami menolak perusahaan dalam bentuk apapun, kemudian orang-orang ini dicari tahu mereka ada di mana,” imbuh dia.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas mengingatkan potensi munculnya konflik maupun kekerasan baru.
Bertolak pada rekam jejak kekerasan yang dialami warga Papua, menurut Cahyo, keterlibatan aparat keamanan dalam pengerjaan PSN cenderung akan lebih banyak intimidatif.
Dalam situasi ini, masyarakat adat dikepung dari berbagai sisi kekuatan politik dan ekonomi. Yang ia sebut sebagai “negara saat ini dikuasai para oligarki”, Kini diperparah pula dengan pengerahan aparat keamanan, katanya.
Komandan Kodim Merauke, Johny Afriady mengatakan berbagai anggapan itu muncul karena ketidaktahuan mengenai tujuan mengapa pasukannya dilibatkan.
la menerangkan, pengerahan tentara murni untuk membantu pembukaan lahan proyek satu juta hektar cetak sawah. Sebab, luasan ini membutuhkan banyak tenaga.
“Itu orang-orang yang enggak tahu, enggak ngerti tujuannya. ‘Oh TNI masuk, oh dia ada ini [melakukan kekerasan]’. Padahal siapa lagi kalau tidak kita TNI yang mendorong?” kata Johny
la pun merasa warga tidak bermasalah dengan kehadiran TNI. Menurut Johny, penolakan masyarakat adat selama ini lebih kepada pelaksanaan PSN di Merauke.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pun meminta publik untuk tak berprasangka dan melihat upaya pelibatan militer dalam PSN Merauke ini secara utuh, “jangan dilihat secara parsial”.
“Kenapa sih kita pesimis? Mari kita optimis. Dulu kami kolaborasi dengan TNi, ini kan sudah lama. ini baru periode pertama. Dulu, kami kolaborasi lima tahun,” jawab Amran di Istana Negara, Rabu (23/10). (die)