Jakarta | Jabar Pos – Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk tahun 2025, di mana anggota parlemen akan mempertimbangkan 41 RUU prioritas. Daftar tersebut jelas mewakili kompromi antara para elit politik, daripada aspirasi publik, seperti meningkatnya permintaan untuk undang-undang penyitaan aset.
Dari 41 RUU yang dianggap prioritas, 16 disponsori oleh komisi di seluruh DPR, 16 oleh Badan Legislasi DPR (Baleg), sembilan oleh pemerintah dan satu oleh Dewan Perwakilan Regional (DPD).
Beberapa RUU tersebut, seperti yang berkaitan dengan pariwisata, energi terbarukan dan perlindungan pekerja rumah tangga, terbawa dari agenda legislatif masa jabatan DPR 2019-2024.
Ada juga beberapa RUU yang sangat sejalan dengan program tanda tangan Presiden Prabowo Subianto seperti ketahanan pangan dan hiliran mineral, bersama dengan tujuan sektor industri lainnya, seperti RUU pangan, RUU perlindungan dan pemberdayaan petani serta RUU industri.
DPR juga telah memasukkan revisi Undang-Undang Militer Indonesia (TNI) dalam Prolegnas, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) tahun lalu menolak mosi peninjauan yudisial yang diajukan terhadap undang-undang tersebut, yang akan memperpanjang usia pensiun tentara militer menjadi 58 tahun.
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan dia akan melanjutkan tawaran pendahulunya Prabowo untuk merevisi Hukum TNI, yang berfokus pada masalah usia pensiun dan jabatan birokrasi yang dapat diisi oleh perwira militer aktif.
Undang-undang TNI saat ini membatasi jabatan sipil untuk personel TNI hingga 10 kementerian/lembaga, sementara sekarang ada lebih banyak pekerjaan sipil yang membutuhkan keahlian militer khusus, seperti wakil jaksa agung untuk kejahatan militer.
Sjafrie mengatakan revisi tersebut akan berusaha untuk memperkuat strategi pertahanan nasional, dan mempercepat reformasi birokrasi di militer, yang telah dimulai Prabowo saat menjabat sebagai menteri pertahanan dari 2019-2024.
Agenda legislatif pemerintah Prabowo kemungkinan akan dipelopori oleh wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, yang juga merupakan ketua eksekutif Partai Gerindra Prabowo.
Pemerintah juga dapat mengusulkan lebih banyak RUU untuk mengakomodasi kabinet Prabowo yang membengkak, yang terdiri dari 49 kementerian dan kantor menteri koordinasi dan enam lembaga pemerintah baru.
Masyarakat pada kenyataannya, sangat ingin melihat RUU penyitaan aset yang dipertimbangkan oleh anggota parlemen setelah kasus korupsi, penyuapan, dan pencucian uang yang merajalela, serta perjudian online.
Selain itu, RUU ini juga dipandang sebagai mekanisme yang efektif untuk menyita aset yang diperoleh secara tidak sah yang dapat masuk ke pundi-pundi negara.
Menteri Hukum Supratman Andi Atgas, yang juga merupakan politisi Partai Gerindra, telah berjanji untuk mencari dukungan para pemimpin partai politik untuk rancangan undang-undang tersebut, untuk mendorong musyawarah RUU yang telah lama ditunggu-tunggu.
Namun demikian, DPR tampaknya tidak siap untuk memperdebatkan RUU tersebut karena telah bergulat dengan RUU amnesti pajak, yang berhasil sampai ke Prolegnas pada menit terakhir.
Di sisi lain, anggota parlemen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Aria Bima telah menyarankan agar Prabowo mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang tentang penyitaan aset jika ia menganggap undang-undang tersebut sangat dibutuhkan. Musyawarah RUU telah terhenti selama bertahun-tahun, sebagian berkat keberatan PDI-P.
Beberapa anggota parlemen DPR yang akrab dengan perumusan RUU tersebut mengatakan tidak adanya persetujuan dari para pemimpin partai politik dari rancangan tersebut telah menghambat musyawarahnya di DPR. Menurut mereka, para pemimpin partai harus berkonsultasi tentang rancangan tersebut, karena sensitivitas undang-undang tersebut.
Mereka mengatakan, mantan presiden Joko Widodo telah menyerahkan surat presiden kepada para pemimpin DPR pada tahun 2023 untuk menandai dimulainya musyawarah RUU tersebut.
DPR mengadakan setidaknya enam sidang terkait dengan RUU tersebut, tetapi gagal mencapai konsensus.
“Tidak ada kesepakatan di antara partai-partai politik di DPR, karena bos mereka tidak pernah dikonsultasikan,” kata seorang politisi. (die)