Jabarpos.id – Turki tengah menghadapi dilema. Di saat negara-negara lain di Eropa ramai dikunjungi wisatawan, hotel-hotel di Turki justru sepi pengunjung. Bukan karena kurangnya daya tarik, melainkan karena krisis ekonomi yang melanda negeri tersebut.
Menurut laporan Jabarpos.id yang mengutip Euronews, warga Turki sendiri lebih memilih berlibur ke Yunani. Hal ini tak lepas dari skema visa baru yang memungkinkan warga Turki berlibur ke 10 pulau di Yunani selama seminggu tanpa harus mengajukan akses penuh ke wilayah Schengen Uni Eropa. Pulau-pulau tersebut terletak di dekat garis pantai Turki, termasuk Lesbos, Limnos, Chios, Samos, Leros, Kalymnos, Kos, Rhodes, Symi, dan Kastellorizo.
Namun, faktor utama sepinya pengunjung hotel di Turki ternyata bukan visa baru. Inflasi yang meroket membuat harga di Turki melambung tinggi, termasuk harga hotel. "Sebenarnya, masalah ini dimulai tahun lalu ketika pemerintah Turki mengambil langkah-langkah untuk menekan mata uang asing," ungkap Kıvanç Meriç, ketua Dewan Perwakilan Regional Izmir dari Asosiasi Agen Perjalanan Turki (TÜRSAB).
Inflasi di Turki mencapai 75,4 persen pada bulan Mei, didorong oleh kenaikan harga hotel, kafe, dan restoran. "Hal ini menyebabkan nilai berlebihan terhadap lira Turki dalam kondisi inflasi," jelasnya.
Meriç menambahkan bahwa hotel-hotel di Turki terpaksa menaikkan harga bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk menutupi biaya perawatan yang juga ikut meroket. "Oleh karena itu, warga kita punya kesempatan pergi ke luar negeri dengan biaya lebih murah. Di dalam negeri, harga hotel masih tinggi," ungkapnya.
Krisis ini tidak hanya berdampak pada perjalanan domestik di Turki. "Saya harus mengatakan bahwa ada masalah serius dalam jumlah wisatawan asing di Turki juga," kata Meriç. "Meskipun Turki berada di posisi terdepan di Eropa, khususnya di cekungan Mediterania, dengan layanan dan kualitas hotelnya, kini Turki telah kehilangan posisi ini karena lemahnya mata uang," tambahnya.
Biasanya, hotel-hotel di resor liburan utama Turki akan penuh sesak pada bulan Juli dan Agustus. Di destinasi populer di sepanjang pantai Aegean dan Mediterania, tingkat okupansi biasanya mencapai 90 hingga 95 persen. Namun, tahun ini, hotel-hotel tersebut beruntung jika tingkat okupansinya mencapai 80 persen.
Situasi ini juga berdampak pada musim sepi. Meskipun banyak destinasi Mediterania dikunjungi wisatawan dari Mei hingga Oktober, musim liburan di Turki jauh lebih singkat. "Sektor pariwisata Turki menghasilkan uang di musim ramai. Namun tidak pada bulan April, Mei, September, dan Oktober," ungkap Meriç. "Periode utama menghasilkan uang adalah pertengahan Juni hingga pertengahan September. Saat ini kita sudah memasuki pertengahan bulan Juli dan masih belum mencapai tingkat okupansi yang kita inginkan," ujarnya.
Biaya hotel bukan satu-satunya hal yang menghalangi wisatawan untuk datang. Tiket masuk ke situs arkeologi yang dikelola Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata juga melonjak harganya. "Di Turki, biaya masuk untuk situs arkeologi dihitung dalam euro. Dulu bisa masuk ke kota kuno Efesus dengan biaya 15 euro, sekarang biayanya 40 euro," kata dia.
Akibatnya, wisata budaya di Turki terpuruk. Pelanggan wisata budaya, terutama wisatawan dari daerah jauh, sudah mulai memilih negara lain seperti Mesir.
Krisis ekonomi di Turki ini menjadi pukulan telak bagi sektor pariwisata yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung perekonomian negara tersebut. Pemerintah Turki kini dihadapkan pada tantangan berat untuk mengatasi inflasi dan mengembalikan kepercayaan wisatawan agar sektor pariwisata kembali bergairah.