Jakarta | Jabar Pos – Jumlah pegawai Komdigi yang ditangkap atas tuduhan melindungi situs judi online hingga kini terus bertambah mencapai 16 orang.
Walau pemerintah menyebut penangkapan ini merupakan upaya untuk memberantas judi online, tapi sebagian kalangan yakin persoalan ini todak akan mudah tuntas, jika penindakannya saja tidak menyentuh ke akarnya yaitu para bandar dan pengendali utamanya.
Judi online merupakan salah satu persoalan prioritas yang masuk dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto.
Menko Polkam Budi Gunawan, membentuk unit khusus yang dipimpin Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit. Tugas utama unit ini ialah memberantas judi online.
Belakangan ini berbagai penangkapan pun terjadi di sejumlah daerah.
Belum lama ini Di Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat, kepolisian menangkap pembuat konten media sosial atas tuduhan mempromosikan judi online.
Di Jakarta, akhir pekan lalu, penangkapan juga dilakukan terhadap belasan pegawai Komdigi, orang-orang yang selama ini tidak dianggap terlibat dalam jaringan judi online di Indonesia.
Mereka dituduh secara sengaja dengan tidak memblokir situs-situs judi online agar mendapat imbalan uang.
Bisakah Pemerintah Memutus Rantai Judi Online?
Judi online secara spesifik dilarang oleh UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) versi terbaru, nomor 1 tahun 2024. Beleid itu memuat dua pasal yang terkait judi online.
Pasal 27 ayat (2) melarang setiap orang mendistribusikan atau menawarkan informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Setiap orang yang melanggar pasal tersebut, diancam hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar, seperti diatur dalam Pasal 45 ayat (3).
Pasal 427 KUHP secara khusus memberi ancaman penjara paling lama tiga tahun dan denda maksimal Rp50 juta bagi setiap orang yang bermain judi.
Namun aturan ini baru dapat digunakan penegak hukum saat KUHP versi terbaru resmi berlaku, yaitu pada 2026.
Nilai transaksi judi online di Indonesia sendir, dari Januari sampai September 2024 mencapai sekitar Rp280 triliun.
Nominal ini berdasarkan laporan resmi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Ivan Yustiawandana (Kepala PPATK) menyebut, lembaganya telah memblokir 13.481 rekening yang berkaitan dengan berbagai transaksi judi online tersebut.
“Pola transaksi, dalam beberapa kasus, mengalami pergeseran dengan menggunakan usaha penukaran valuta asing dan aset kripto,” kata Ivan, Senin kemarin.
PPATK menemukan fakta bahwa sejumlah pengguna judi online di Indonesia mencapai hingga empat juta orang. Dari angka tersebut, sekitar 80 ribu pemain judi online masih berusia di bawah 10 tahun.
Penetapan tersangka terhadap 16 pegawai negeri Komdigi yang diduga melindungi situs judi online merupakan sebuah ironi, kata Nurul Izmi, peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
“Akan lebih efektif jika yang ditebang dan diusut-untas itu dari bandar judinya, bukan hanya masyarakat yang sebenarnya menjadi korban,” kata Nurul.
Menteri Komdigi, Meutya Hafid, merespons penangkapan karyawannya tersebut dengan berkata “akan membersihkan kementeriannya dari oknum”.
10 hari sebelum penangkapan pegawai Komidigi, pihaknya telah memblokir 187 ribu situs judi online.
“Saya tidak menyatakan itu prestasi kami, tapi paling tidak tren positif,” kata Meutya.
Menurut Guru Besar Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, yang dibutuhkan pemerintah untuk mengatasi judi online adalah kemauan politik.
Pad akhir pemerintahan Joko Widodo, Benny Rhamdani, yang saat itu menjabat Kepala Badan
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
(BP2MI), menyebut sosok berinisial T sebagai pengendali judi online.
Namun hingga saat ini, pemerintah termasuk pihak kepolisian belum menindaklanjuti dan
mengumumkan sosok T yang disebut Benny.
Harusnya dalam 100 hari pertama
pemerintahan Prabowo semestinya ia bisa mengusut tuntas para dalang di balik situs judi online, termasuk yang berinisial T tersebut. (die)