Jakarta | Jabar Pos – Kementerian Hukum sedang mempertimbangkan untuk menyusun undang-undang baru tentang amnesti dan pemindahan tahanan, setelah pemulangan warga negara asing yang dihukum baru-baru ini dan rencana pemerintah untuk memberikan amnesti kepada ribuan narapidana yang merana di penjara negara ini.
“Waktunya tepat untuk memiliki undang-undang yang mengatur amnesti eksekutif, grasi dan rehabilitasi, untuk penuntutan atau hukuman yang salah.” ujar Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan dalam pernyataan pers pada hari Selasa (17/12).
“Presiden telah menyarankan agar kami memberikan amnesti setiap tahun untuk kasus-kasus tertentu,” katanya.
Konstitusi menguraikan persyaratan umum untuk pemberian amnesti, atau pembebasan dari tanggung jawab pidana, sebagai kekuasaan presiden yang dapat dilaksanakan atas persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Grasi juga merupakan kekuatan eksekutif dan mengacu pada pengampunan individu yang dihukum atas sebagian atau seluruh hukuman serta pergantian hukuman mati atau hukuman seumur hidup setelah berkonsultasi dengan Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Grasi 2010.
Konstitusi juga menguraikan konsep rehabilitasi sebagai tindakan untuk memulihkan hak-hak individu yang dihukum secara salah, yang dapat diberikan oleh presiden setelah berkonsultasi dengan Mahkamah Agung.
Pemerintah mengatakan minggu lalu bahwa sekitar 44.000 narapidana, sebagian besar pengguna narkoba yang seharusnya dikirim ke fasilitas rehabilitasi, dapat diberikan amnesti atas dasar kemanusiaan untuk membantu meringankan penjara yang penuh sesak di negara ini.
Populasi narapidana nasional mencakup 32.000 individu yang dihukum karena menggunakan narkoba dan 84.000 pedagang narkoba.
Potensi amnesti juga akan diberikan kepada orang-orang yang dihukum karena pencemaran nama baik dan kejahatan kebencian, termasuk mereka yang dinyatakan bersalah atas pencemaran nama baik terhadap presiden di bawah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta sekitar 18 aktivis yang dipenjara karena menggunakan kebebasan berekspresi mereka untuk mengkritik otoritas atau untuk melakukan protes di Papua.
Saat ini, 530 fasilitas pemasyarakatan di seluruh negeri menampung lebih dari 274.000 narapidana serta tahanan yang menunggu persidangan, hampir dua kali lipat kapasitas maksimum sekitar 145.000 narapidana, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kementerian.
Penjara yang penuh sesak adalah masalah kronis yang sering dikaitkan dengan pendekatan hukuman dari lembaga peradilan dan penegak hukum, terutama terhadap pengguna narkoba, dan kriminalisasi kebiasaan sistem hukum terhadap tindakan tertentu dan penambahan pelanggaran baru.
Menteri Supratman mengatakan, negara ini juga perlu merancang undang-undang baru tentang pemindahan tahanan internasional.
Menteri Koordinasi Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Layanan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra juga telah mendesak pemerintah dan anggota parlemen untuk segera menyusun undang-undang baru mengenai masalah ini. (die)