Jabarpos.id – Konflik di Timur Tengah kembali memanas setelah kematian Komandan Tinggi Hizbullah, Fuad Shukr di Beirut, Lebanon dan Kepala Politik Hamas, Ismail Haniyeh di Teheran, Iran. Kedua kelompok tersebut bersumpah untuk membalas dendam kepada Israel yang dianggap sebagai dalang di balik kematian mereka.
Situasi ini berdampak besar pada sektor pariwisata Lebanon yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian negara tersebut. Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, Perancis, Italia, dan Turki, telah meminta warganya untuk segera meninggalkan Lebanon. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut bahkan mengeluarkan instruksi untuk segera membeli tiket pulang.
Beberapa negara juga telah menyiapkan rencana darurat bagi warganya yang memilih untuk tetap tinggal di Lebanon. Kantor Luar Negeri Inggris, misalnya, meminta warganya untuk segera memesan tiket pulang selagi masih tersedia.
"Kami telah memiliki beberapa reservasi Oktober 2023 hingga Agustus 2024, 90 persen semuanya dibatalkan. Saya sudah berkecimpung di bidang ini selama enam tahun tapi saya belum pernah mengalami hal seburuk ini. Kami bahkan mencari plan b, mengingat situasi saat yang terjadi ini," ujar Elie Louka dari Explore Lebanon Tours.
Khaled Bashahsi dari Lebanon Trip and Tours juga merasakan dampak yang sama. "Target utama kami selama ini adalah wisatawan Eropa dan Amerika, namun karena situasi ini mereka diminta untuk segera meninggalkan negara ini dan tidak mengambil risiko. Sejak Mei saya hanya menerima beberapa reservasi dari ekspatriat Lebanon yang meminta tur (bulan madu) musim panas ini, jadi kami hanya bekerja sekali atau dua kali dalam seminggu dan kami benar-benar kesulitan," ungkap Khaled.
Viviane Nasr, pemilik City Sightseeing, sebuah perusahaan tur wisata dengan bus, juga menghadapi kesulitan keuangan akibat konflik ini. Ia bahkan mempertimbangkan untuk pindah ke Qatar. "Tidak ada yang tersisa di sini, tapi kami masih butuh waktu untuk mengatur segalanya agar bisa pindah ke tempat lain, mungkin Qatar. Sebagai warga negara Amerika Serikat, saya menerima pesan setiap hari dari kedutaan tapi saya belum siap untuk meninggalkan negara ini. Saya punya urusan di sini, keluarga, dan teman-teman, saya tidak akan pergi sekarang dan banyak orang lain yang juga tidak akan pergi sekarang," ujar Viviane.
Kondisi ini semakin memperparah perekonomian Lebanon yang sudah terpuruk akibat krisis ekonomi yang melanda sejak pandemi Covid-19 dan ledakan di Pelabuhan Beirut pada Agustus 2020. Mata uang pound Lebanon telah kehilangan lebih dari 95% dari nilai sebelumnya, pengangguran melonjak hingga hampir 14%, dan lebih dari separuh populasi berada di bawah garis kemiskinan. Sektor perbankan juga telah berhenti memberikan pinjaman dan menarik simpanan.
Konflik terbaru ini menjadi pukulan telak bagi sektor pariwisata Lebanon yang baru mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.