Jakarta | Jabar Pos – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, mengenai peristiwa tragis 1998.
Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM menjelaskan, bahwa lembaganya telah melakukan penyelidikan mendalam terhadap sejumlah kejadian pada 1997 dan 1998. Beberapa di antaranya yakni, kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, serta tragedi Trisakti dan Semanggi 1-2 pada 1998-1999.
“Komnas HAM menemukan adanya pembunuhan, penghilangan paksa, dan perampasan kebebasan,” kata Anis Hidayah. Senin, 21 Oktober 2024.
Ia menegaskan bahwa hasil penyelidikan menunjukkan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga peristiwa tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
“Hasil penyidikan sudah kami serahkan ke Jaksa Agung,” imbuh Anis Hidayah.
Pernyataan ini membantah pernyataan Yusril Ihza Mahendra, yang sebelumnya mengatakan bahwa peristiwa 1998 bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Yusril Ihza Mahendra bahkan berpendapat bahwa Indonesia tidak mengalami pelanggaran HAM berat dalam beberapa puluh tahun terakhir.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, pelanggaran HAM berat seperti Genosida atau pemusnahan Etnis mungkin terjadi pada masa Kolonial atau awal kemerdekaan, tetapi bukan pada akhir 1990-an.
Namun, pandangan Yusril Ihza Mahendra tersebut, bertentangan dengan hasil keputusan Komnas HAM, yang telah mengkategorikan 12 peristiwa di masa lalu sebagai pelanggaran HAM berat.
Beberapa di antaranya adalah, peristiwa pada 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1998, penghilangan orang secara paksa 1997-1998. Lalu kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti serta Semanggi 1 dan 2 1998-1999, pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KAA di Aceh 1999, peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003, serta peristiwa Jambo Keupok, Aceh pada 2003.
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra juga berbeda dengan sikap eks Presiden Joko Widodo, yang mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut. Jokowi berusaha menyelesaikannya secara non-yudisial, dengan memberi bantuan dan santunan kepada para korban atau keluarga korban.
Langkah eks Presiden Jokowi ini diwujudkan melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, yang membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Tim ini diketuai oleh Mahfud Md sebagai ketua tim pengarah, dan Makarim Wibisono sebagai ketua tim pelaksana, yang berusaha menyelesaikan 12 kasus pelanggaran HAM berat tersebut sesuai rekomendasi Komnas HAM. (far)