Jakarta | Jabar Pos – Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas mengatakan pada hari Sabtu (23/11) bahwa Indonesia telah setuju untuk menyerahkan lima tahanan ke Australia.
Meskipun rincian pemindahan masih belum selesai, karena pihak Indonesia juga ingin beberapa tahanannya yang ditahan di Australia dipulangkan sebagai balasannya.
Komplikasi hukum dapat menghambat rencana pemindahan lima narapidana perdagangan narkoba Australia ini, yang telah menjalani hukuman hampir dua dekade hukuman seumur hidup di Indonesia.
Serta seorang warga Filipina yang hendak di hukuman mati, untuk dipulangkan ke negara asal mereka, karena pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berusaha untuk menopang hubungan diplomatik yang baik dengan negara-negara tetangga.
Lima tahanan Australia ini adalah anggota jaringan narkoba yang disebut Bali Nine. Mereka ditangkap pada tahun 2005 karena mencoba menyelundupkan lebih dari 8 kilogram heroin keluar dari Bali.
Mereka adalah anggota terakhir yang tersisa dari kelompok yang menjalani hukuman seumur hidup. Yang lainnya ada yang telah dieksekusi, dibebaskan atau meninggal karena penyebab lain.
Supratman juga mengatakan bahwa Indonesia belum memiliki prosedur formal untuk pemindahan tahanan internasional, tetapi prosedur tersebut akan segera dikembangkan.
Dia menambahkan bahwa transfer akan bergantung pada negara mitra yang mengakui proses peradilan Indonesia.
“Pemindahan ini penting untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara sahabat. Tetapi ini juga demi kepentingan kami karena kami memiliki tahanan di luar negeri,” kata Supratman.
Menteri Perdagangan Australia, Don Farrell mengkonfirmasi bahwa negosiasi sedang berlangsung dan bahwa kelima warga Australia akan terus menjalani hukuman mereka jika kesepakatan transfer dilanjutkan.
Menteri Koordinasi Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra dan Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi tidak bersedia untuk memberi komentar.
Aktivis hak asasi manusia memuji keputusan pemerintah untuk mengembalikan Veloso, seorang warga Filipina yang hendak di hukuman mati terkait kasus narkoba.
Tetapi beberapa ahli hukum mempertanyakan dasar hukum untuk pemindahannya.
Undang-undang narkoba Indonesia yang terkenal ketat, yang tidak akan menyelamatkan warga negara asing dari hukuman mati.
Pada bulan April 2015 terhadap dua pemimpin Bali Nine, bersama dengan lima warga negara asing lainnya dan seorang Indonesia, telah dilakukan eksekusi mati oleh regu tembak.
Keputusan ini menyebabkan keretakan diplomatik besar antara pemerintahan presiden Jokowi dan Australia, yang memanggil kembali duta besarnya sebagai protes.
Seperti dalam kasus Veloso, pemerintah Australia sebelumnya tidak beruntung dalam menegosiasikan kembalinya anggota Bali Nine yang tersisa. Sampai Perdana Menteri, Anthony Albanese mengajukan permintaan langsung kepada Prabowo di sela-sela KTT APEC di Peru
Minggu lalu.
Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana memperingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru dalam rencana pemindahan tahanan.
“Memproses transfer tanpa dasar hukum yang jelas akan merobek undang-undang kami. Administrasi sebelumnya selalu beralasan bahwa pemindahan tahanan tidak mungkin dilakukan karena tidak ada undang-undang khusus tentang mereka, tetapi administrasi baru tampaknya mengabaikan fakta ini sepenuhnya,” kata Hikmahanto pada hari Minggu (24/11).
“Prabowo memiliki kebijakan ‘tetangga yang baik’, tetapi tidak dapat mengabaikan hukum yang ada,” tambahnya.
Pakar hubungan internasional, Ahmad Rizky M. Umar mengatakan keringanan hukuman yang baru ditemukan di Indonesia dalam pemindahan tahanan kemungkinan merupakan hasil dari minat Prabowo dalam meningkatkan hubungan bilateral.
“Jika pemindahan tahanan adalah bagian dari agenda yang lebih besar, itu adalah sesuatu yang perlu dikomunikasikan dengan jelas dan skema pemindahan itu sendiri harus memiliki dasar hukum yang jelas,” kata Ahmad.
Dia meminta anggota parlemen untuk terlebih dahulu meloloskan undang-undang tentang pemindahan tahanan, agar pemerintahan Prabowo mengkomunikasikan dengan jelas kebijakan undang-undang tersebut kepada negara-negara yang sedang bernegosiasi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan negosiasi tentang pemindahan tahanan harus memberikan dorongan bagi Indonesia untuk mengevaluasi kembali sikapnya terhadap hukuman mati, daripada hanya mencari kesepakatan transaksional. (die)