Jakarta | Jabar Pos – Pernyataan Yusril Ihza Mahendra terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya kasus 1998 telah menuai kontroversi.
Namun, dalam keterangan barunya, Yusril mengklarifikasi soal kasus 1998 yang sebelumnya ia sebut “bukan” pelanggaran HAM berat.
“Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya. Apakah terkait dengan genocide atau ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998,” kata Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/10).
Sebelum mengutarakan klarifikasinya, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengkritik pernyataan Yusril, dengan menyebutnya sebagai “upaya Negara untuk memutihkan pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi.”
Terdapat 19 kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, 17 di antaranya telah rampung diselidiki dan ditetapkan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.
Dan hampir seluruh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini melibatkan militer dan kepolisian, berikut pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, di antaranya:
- Peristiwa pembunuhan massal 1965-1966
- Penembakan Misterius (1982-1985)
- Tragedi Talangsari (1989)
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989)
- Penculikan Aktivis (1997-1998)
- Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan || (1998-1999) Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999)
- Tragedi Simpang KKA (1999)
- Tragedi Wasior (2001-2002)
- Tragedi Wamena (2003)
- Jambo Keupok (2003)
Yang sudah diadili:
- Timor-Timur (1999)
- Tanjung Priok (1984)
- Abepura (2000)
- Paniai (2014)
Dari empat pekara yang sudah diadili oleh pengadilan HAM, 35 terdakwa akhirnya dibebaskan.
Perkara Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, Abepura 2000 sudah disidang hingga tingkat kasasi. Semua terdakwa diputus bebas oleh Mahkamah Agung (MA).
Kasus Paniai 2014 juga telah diproses di Pengadilan HAM di Makassar. Pada 8 Desember 2022, Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar memvonis bebas terdakwa satu-satunya yang dituntut hukuman 10 tahun penjara, yaitu Mayor Infantri (Purnawirawan) IS.
Keluarga korban dalam kasus Paniai 2014 yang terdakwanya dibebaskan oleh pengadilan menyebut, “orang Papua tidak bernilai di mata negara”. Dalam tragedi ini, empat warga sipil tewas dan 21 lainnya luka akibat penganiayaan.
Sampai 11 Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan hal bersejarah, “Saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan”.
Pengakuan dan penyesalan dari kepala negara ini beriringan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No.17/2022 tentang
Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
Beberapa bulan setelah Prabowo-Gibran ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU, terdapat pertemuan antara petinggi Gerindra dengan 14 keluarga korban penculikan aktivis 1997-1998.


Salah satu keluarga korban yang hadir dalam pertemuan itu, Paian Siahaan (ayah Ucok Siahaan) aktivis yang hilang pada 1998.
Wahyu Susilo, adik kandung Wiji Thukul (aktivis dan penyair yang dihilangkan secara paksa pada 1998) menyebut pertemuan itu sebagai
“manuver yang culas dari segelintir orang yang sudah tidak konsisten dalam upaya perjuangan orang hilang”.
Prabowo dituduh terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat penculikan aktivis 1997-1998. Namun, dalam sejumlah kesempatan ia mengaku hanya menjalankan perintah.


“Sebagai seorang prajurit, kami melakukan tugas kami sebaik-baiknya,” kata dia dalam debat capres pertama pada putaran Pilpres 2014. Sambil menambahkan, “Itu merupakan perintah atasan saya.”
Pada debat capres 2024, Prabowo mengatakan, “Saya yang sangat keras membela hak asasi manusia. Nyatanya orang-orang yang dulu ditahan, tapol-tapol (tahanan politik) yang katanya saya culik, sekarang ada di pihak saya, membela saya. Jadi, masalah HAM jangan dipolitisasi, kalau memang keputusan mengadakan Pengadilan HAM ya kita adakan pengadilan HAM. Tidak ada masalah”.
Visi-misi Prabowo dan Gibran, yang mereka komplisi dengan sebutan Asta Cita, “Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi dan HAM”.
Namun, dari penjelasannya tak ada satupun yang memuat isu tentang bagaimana penyelesaian pelanggaran HAM berat.
(die)