Sulawesi | Jabar Pos – Dalam kasus di Konawe Selatan, Wibowo Hasyim, seorang orang tua murid yang berstatus polisi dengan pangkat ajun inspektur dua, melaporkan Supriyani ke Polsek Baito.
Aipda Wibowo menuduh Supriyani, guru honorer di SD Negeri 4 Baito, memukul paha anaknya dengan sapu ijuk pada 24 April lalu.
Supriyani dan para guru di sekolah itu telah berulang kali membantah tuduhan Wibowo, baik kepada majelis hakim maupun kepada pers.
Kini persidangan kasus Supriyani yang masih berlangsung, persoalan terkait kenakalan atau ketidaktertiban serta upaya guru mendisiplinkan murid seharusnya tidak masuk ke urusan pidana.
Menurut Asep Iwan Iriawan, guru berhak merespons sikap dan perbuatan peserta didik dalam batas wajar.
Kalaupun nantinya orang tua murid tidak sepakat dengan cara mendidik yang diterapkan guru, persoalan itu semestinya diselesaikan di sekolah saja bukan di kantor polisi atau pengadilan.
“Jadi semangatnya bukan memenjarakan guru. Jangan semua urusan dibawa ke ranah hukum,” ujar Asep.
Pihak kepolisian setempat membuat klaim, bahwa mereka telah berupaya menyelesaikan kasus Supriyani di luar mekanisme hukum.
Juru Bicara Polda Sulawesi Tenggara, Kombes Iis Kristian, mengatakan bahwa Polres Baito sudah lima kali mempertemukan Supriyani dan Wibowo Hasyim.
Namun, kata Iis, perdamaian di antara kedua pihak itu tidak terwujud.
“Penyidik juga berharap kasus ini bisa berakhir dengan damai,“ ujarnya.
Menurut Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 pada regulasi itu, kepolisian dapat menghentikan proses penyelidikan atau penyidikan jika pelaku dan korban sepakat berdamai.
Iis menyangkal pihaknya mengabaikan prinsip keadilan restoratif tersebut. Salah satu buktinya ialah Polsek Baito tidak menahan Supriyani.
“Kami ingin mendamaikan, tapi kalau mereka tidak mencapai titik temu, kami harus bagaimana,” kata Iis.
Polsek Baito lantas melanjutkan perkara ini, mereka mengajukan berkas penyidikan ke jaksa penuntut umum.
Kejaksaan juga memiliki Peraturan Nomor 15 Tahun 2020. Regulasi ini mengatur penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Namun lantaran berkas penyidikan kasus Supriani telah lengkap, mereka melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan.
Supriyani dijerat pasal 80 ayat 1 juncto pasal 76 C UU Perlindungan Anak serta pasal 351 KUHP.
Perkara pidana yang menjerat Supriyani kini membuat banyak guru takut.
Abdul Halim Momo, Ketua PGRI Sulawesi Tenggara mengatakan, sejumlah guru ragu melerai perkelahian antar murid akibat kasus yang terjadi di Konawe.
Terkait masalah tersebut, nantinya para guru menjadi cemas bakal mendapat tuduhan tak berdasar dari orang tua murid.
“Situasi ini kan berbahaya, Ini bisa berimplikasi pada kualitas pendidikan,” ujarnya.
Abdul mendesak pemerintah dan DPR untuk menyusun undang-undang tentang perlindungan guru.
Pernyataan serupa diutarakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti.
Ia menyebut kriminalisasi terhadap guru kerap terjadi. Dia hendak berbicara dengan Kepala Polri untuk mengatasi kasus kekerasan yang melibatkan guru dan murid.
“Kasus yang seperti itu kan juga terjadi di tempat lain. Karena itu kami ingin menyelesaikannya dari hulu,” kata Abdul Mu’ti kepada pers di Jakarta, Selasa (30/10).
Pada 2020, PGRI dan Polri juga membuat nota kesepahaman tentang perlindungan hukum profesi guru.
Di lingkup PGRI, nota kesepahaman itu bernomor 606/Um/PB/XXII/2022. Sementara di kepolisian, berkas itu dicatat dengan nomor NK/26/VIII/2022.
Dalam nota tersebut, kepolisian akan berkoordinasi dengan PGRI terkait penyelidikan terhadap guru dan pihak kepolisian juga berkomitmen memberikan bantuan kepada guru yang mendapatkan intimidasi.
Pada pasal 40 regulasi itu menyatakan, “guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas” dari pemerintah. (die)