jabarpos.id, Jakarta – Transaksi pembayaran saat berbelanja kini semakin beragam, mulai dari uang tunai, kartu debit/kredit, hingga dompet digital. Namun, tahukah Anda bahwa setiap metode pembayaran ternyata memicu efek psikologis yang berbeda? Belanja dengan uang tunai disebut-sebut dapat mengaktifkan pusat nyeri di otak. Benarkah demikian?
Menurut Carin Rehncrona, seorang pengajar di Lund University, penggunaan uang tunai saat berbelanja dapat membantu mengendalikan pengeluaran. Dalam artikelnya yang berjudul "Uang Tunai Memang Tidak Praktis Tapi Bisa Menghemat Pengeluaran", yang diterbitkan The Conversation, Rehncrona menjelaskan bahwa riset yang dilakukannya sejak tahun 2000-an menunjukkan individu yang membawa uang tunai cenderung memiliki intensi belanja yang lebih rendah. Studi lain juga memperkuat temuan ini dengan menganalisis kwitansi konsumen dari toko kelontong. Hasilnya, konsumen cenderung lebih bersedia membayar lebih mahal saat menggunakan kartu debit dibandingkan uang tunai.

Fenomena ini dikenal sebagai "Pain of Payment" atau rasa tidak nyaman psikologis saat kehilangan uang secara fisik. Uang tunai dianggap lebih nyata dibandingkan pembayaran non-tunai. Bahkan, beberapa ahli berpendapat bahwa kesulitan membayar dengan uang tunai dapat mengurangi keinginan untuk berbelanja. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan uang tunai dapat mengaktifkan sel pusat nyeri di otak. Meskipun beberapa peneliti skeptis dan menganggap persepsi rasa sakit ini sebagai akibat dari kurangnya respons imbalan, atau saat otak mengasosiasikan suatu tindakan dengan perasaan senang atau tidak. Respons ini jauh lebih aktif melalui aktivitas penggunaan kartu kredit dibandingkan dengan uang tunai.
Namun, seiring perkembangan zaman, efek psikologis uang tunai dan kartu kini semakin melemah. Masyarakat semakin terbiasa dengan pembayaran digital atau non-tunai. Pembayaran seluler juga memiliki efek yang mirip dengan kartu kredit atau debit, yang berarti pembelanjaan cenderung lebih tinggi dibandingkan uang tunai.
Meskipun demikian, notifikasi di perangkat seluler dapat membantu mengurangi keinginan berbelanja. Notifikasi yang muncul di ponsel atau jam tangan pintar memberikan efek yang hampir sama dengan berbelanja menggunakan uang tunai, sehingga mampu menekan nafsu berbelanja.
Penelitian lain yang dilakukan Rehncrona di Swedia menunjukkan bahwa konsumen muda (usia 20-26 tahun) merasa transaksi tunai tidak berpengaruh pada seluruh dana yang mereka miliki. Pasalnya, konsumen muda saat ini terbiasa melihat aktivitas mereka pada riwayat transaksi yang muncul di ponsel mereka. Mereka merasa uang digital lebih terasa sebagai uang sungguhan bagi demografi yang lebih muda.
"Ini menunjukkan preferensi metode pembayaran berbeda antar generasi yang tergantung pada kebiasaan dan teknologi," sebutnya.
"Karena penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran cenderung lebih tinggi pada metode non-tunai, mungkin manajer toko dapat mempertimbangkan untuk mempromosikan pembayaran non-tunai. Ibarat pedang bermata dua, keputusan untuk tidak menerima uang kertas dan koin pun berarti mereka kehilangan penjualan ketika konsumen muda ingin "membuang" uang mereka," tulisnya.