Medan | Jabar Pos – Polisi militer telah menunjuk 25 anggota batalion Angkatan Darat di Medan, Sumatera Utara, sebagai tersangka atas dugaan menyerbu desa Selamat di kecamatan Biru-biru, kabupaten Deli Serdang, pada bulan November.
Penamaan tersangka terjadi sekitar satu bulan setelah insiden tersebut, setelah polisi militer Komando Militer Bukit Barisan menyelidiki insiden tersebut.
Polisi militer menanyai 50 tentara dalam penyelidikan mereka, “Dari 50 personel yang kami interogasi, kami telah menyebut setengah dari mereka sebagai tersangka,” kata Letnan Kepala Komando Militer Bukit Barisan, Jenderal Mochammad Hasan mengatakan selama konferensi pers pada hari Selasa (3/12).
Dia menambahkan bahwa polisi militer akan menyerahkan kasus ini kepada jaksa Militer Indonesia (TNI), yang akan menulis dakwaan terhadap para tersangka yang akan diserahkan ke pengadilan militer.
Hasan menegaskan bahwa polisi militer telah menerima rekomendasi dari Komisi Nasional tentang Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam kasus ini.
“Investigasi masih berlangsung sampai hari ini. Polisi militer akan memastikan penuntutan selesai,” katanya.
Hasan meminta maaf atas nama TNI kepada masyarakat, terutama para korban, atas serangan terhadap desa Selamat.
Mayor Jenderal Rio Firdianto, yang menggantikan Hasan sebagai komandan Bukit Barisan pada hari Selasa, menegaskan bahwa TNI akan transparan dalam melakukan penyelidikan atas kasus tersebut.
“Kami tidak akan menutupi apapun. Namun, jangan hanya melihat satu sisi. Tidak ada asap tanpa api,” ujar Rio.
Dia menambahkan, bahwa ia tidak akan melindungi tentara mana pun yang dinyatakan bersalah dalam kasus ini. Tetapi dia juga menuduh bahwa insiden bulan lalu dipicu oleh seorang penduduk desa yang juga harus dituntut dalam kasus ini.
“Kami juga memburu orang yang memprovokasi bentrokan itu,” lanjut Rio.
Puluhan tentara menyerbu desa pada 8 November, menewaskan satu orang dan melukai beberapa orang lainnya. Insiden itu dilaporkan dipicu oleh bentrokan antara seorang tentara dari Batalyon Artileri Lapangan Angkatan Darat 2/Kilap Sumagan dan seorang penduduk desa Selamat.
Setelah bentrokan, tentara itu kembali ke markas dan melaporkan insiden itu kepada rekan-rekannya, yang menanggapi dengan menyerbu desa.
Menurut seorang penduduk, lebih dari 100 tentara datang ke desa sekitar pukul 22:30 malam dalam tiga gelombang dan mulai menyerang penduduk di rumah mereka.
Mereka mengenakan seragam Angkatan Darat, menurut kesaksian penduduk.
Korban yang meninggal, diidentifikasi sebagai Raden Barus (61) ditemukan dengan luka tusukan di pinggir jalan pada pagi harinya setelah penyerangan. Warga lalu membawanya ke Rumah Sakit Sembiring Deli Tua, di mana dia dinyatakan meninggal karena luka-lukanya pada hari itu.
Setelah otopsi di rumah sakit polisi setempat, warga membawa jenazahnya malam itu ke Batalyon Artileri Lapangan Angkatan Darat 2/Kilap Sumagan, yang markasnya terletak di dekat desa, guna menuntut keadilan.
Tetapi mereka dicegat oleh personel militer, sebelum diizinkan untuk bertemu dengan komandan batalion.
Raden dimakamkan keesokan harinya pada tanggal 10 November. Setidaknya 10 penduduk desa lainnya terluka parah dalam insiden tersebut.
Kepala desa Selamat, Bahrun mengatakan setidaknya 10 warga desa diinterogasi oleh penyidik dari polisi militer Bukit Barisan.
“10 penduduk desa ditahan selama lebih dari seminggu oleh polisi militer, yang mengatakan mereka diinterogasi sebagai saksi,” kata Bahrun.
Irvan Saputra dari Institut Bantuan Hukum Medan (LBH Medan) mengatakan, setiap tentara yang dinyatakan bersalah harus dihukum karena melanggar hak penduduk desa untuk hidup aman dan damai.
Irvan mendesak TNI untuk memberhentikan dan menuntut semua orang yang terlibat dalam insiden tersebut untuk membawa keadilan.
Kelompok sipil menunjuk insiden di desa Selamat sebagai contoh kesombongan personel TNI terhadap warga sipil, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Institut Reformasi Peradilan Pidana (ICJR) pada hari Selasa (12/11).
Kelompok itu mengutip data dari Imparsial, yang mencatat setidaknya 25 tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tentara terhadap anggota masyarakat antara Januari dan November, mulai dari penyiksaan hingga intimidasi terhadap jurnalis, pembela hak asasi manusia, dan warga sipil lainnya.
Kelompok-kelompok tersebut telah mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang Pengadilan Militer 1997 untuk memberikan lebih banyak pencegahan kepada setiap tentara yang mempertimbangkan untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil. (die)